POLITIK 1 : Ada Kuota tapi tidak ada Kader

Senin, 02 November 2015



Sekarang maraknya isu keterwakilan perempuan di partai politik kembali menjadi topik perbincangan. Masalah perempuan dan politik ini tentu tidak lepas dari perkembangan sistem politik dan partai yang ada di Indonesia. Walaupun peraturan telah dibakukan, namun bukan berarti 30% keterwakilan perempuan dapat tercapai dengan mudah.  Banyaknya isu penolakan dari masayarakat mengenai perempuan tidak cocok menjadi pemimpin, karena masyarakat indonesia masih  berpedoman pada budaya patriarki, dimana menganggap perempuan tidak punya basic sosial, tidak tahu hukum, dan perempuan pantasnya hanya mengurus urusan rumah saja. dan mereka tidak akan memilih jika perempuan tersebut belum dikenal dengan kinerja yang bagus sebelumnya. Masalah kesiapan perempuan menjadi calon legislatif ditentukan oleh masing masing partai, dimana dimasing masing partai tidak adanya pengurus kaderisasi perempuan sehingga banyak partai yang tidak mengisi kuoata perempuan. memang susah melawan budaya patriarki yang sudah mengendap di kehidupan masyarakat,  maka dari itu kontruksi ideologi masyarakat harus ada pembaharuan. Namun banyak Siasat partai bahkan untuk mengisi kuota ini sangat mengecewakan, yaitu dengan mengambil caleg perempuan yang sudah populer seperti artis atau perempuan pengusaha. Maka dampak dari itu melihat hasilnya, sedikit yang duduk di parlemen, dan kalaupun ada, mereka jarang berpartisipasi aktif dalam tugas legislasi, anggaran, dan pengawasan. Sebenarnya  KPU membolehkan tingkat provinsi dan kabupaten/kota untuk memberikan alasan bila tidak terpenuhi ketentuan 30% persen perempuan. Bahkan, partai politik melepas tangan caleg-caleg perempuan, dengan segala keterbatasannya harus bertarung dan berebut suara dengan caleg laki-laki dalam sistem pemilu proporsional terbuka. 


Banyaknya pendapat dari berbagai narasumber perempuan mengenai kehadiran perempuan dalam politik. Airin Rachmi Diany, Wali Kota Tangerang Selatan, menyatakan  “Gali ilmu, gali potensi kita dan belajar hal-hal yang positif dari para pendahulu seperti mantan Presiden Indonesia Megawati Sokarnoputri , atau mantan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher. Selanjutnya, Ketua Bidang Otonomi Daerah Partai NasDem Siti Nurbaya, ia membedakn dengan negara argentina, bahwa menyiapkan kuota perempuan butuh belasan tahun, dan dalam prosesnya mereka menyiapkan peningkatan kualitas perempuan. Di sini menurutnya terlalu instan sehingga perempuan hanya dijadikan komoditas untuk memenuhi syarat kualifikasi partai. Padahal ada kenyataan bahwa partai politik kurang membuka diri dan memberikan kesempatan, Siti Nurbaya mengatakan bahwa harus diiringi dengan pendidikan, pelatihan dan kesadaran politik untuk meningkatkan kualitas dan kepercayaan diri perempuan. Tentu percuma bila ini dilakukan tanpa ada kemauan parpol untuk memberikan peluang besar kepada perempuan untuk bersaing. Kemudian Linda Amalia Sari Gumelar, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyatakan bahwa perempuan  banyak bekerja di sektor informal yang umumnya tidak tercatat. Padahal peran mereka mencapai 70% untuk usaha mikro dan kecil. Bahkan dari sisi tenaga kerja Indonesia, 70% lebih perempuan telah mengirimkan devisa bagi Indonesia atau uang bagi kehidupan keluarganya mencapai US$5,7 miliar. Angka ini tentu menjadi menguatkan mengapa keterwakilan perempuan di politik sangat penting untuk memperhatikan masyarakat perempuan di Indonesia yang banyak memberikan kontribusi untuk negara.  

0 komentar:

Posting Komentar